payung

/
0 Comments
masih ingatkah engkau,
pada suatu pagi di bawah tenda?
saat kau bercerita tentang layang-layang putus di pohon tua,
tentang benangnya yang tersangkut di ranting paling rendah,
namun kau tetap tak mampu mencapainya
pagi itu mendung begitu pekat namun tetes hujan belum mendarat.
kuhabiskan pagi memandang bola matamu yang menerawang jauh lekat-lekat.
api unggun telah lama padam,
namun dari sana aku masih mampu merasakan hangat.

kedua jarum pada jam tanganku telah bertemu di utara,
namun matahari masih bersembunyi di tempatnya.
mendung yang bergelantung membuat langit semakin limbung,
kurasa, dia tak kan mampu menopangnya lebih lama.

hujan sebentar lagi tiba dan kita berdua tak punya payung, kataku waktu itu.
kau tak menjawab,
lalu kau letakkan kedua telapak tanganmu di atas kepalaku,
mungkin aku memang tidak, namun kau akan selalu punya payungmu.
katamu.
ah, kudengar guruh mulai gemuruh di dadaku.

rintik-rintik air luruh dari langit menciptakan jalanan licin di tepi parit,
berkas sinar matahari sore menciptakan bias di sela dedaunan basah,
berjalan bersamamu ke arah senja menciptakan pelangi di tapal batas ingatanku.

pada hari itu, ada satu yang luput dari perhatianku
bahwa kelak di kemudian hari, payung sederhana dari kedua tanganmu akan meretaskan hujan berkali-kali.
hujan yang kali ini tak lagi kau mampu tadahi,
hujan yang tak lagi mampu menciptakan lengkung warna-warni,
karena hujan itulah airmataku,
dan kau, matahari, telah pergi tanpa meninggalkan pelangi.


You may also like

Tidak ada komentar: